PENULIS : AGUS SAPUTRA
PENERBIT : DIAN ASTARADE SETYA

MEDIABORNEO-ONE.COM – Di tengah gegap gempita menyambut hari kemenangan, ada keheningan yang tak bisa disembunyikan. Tahun ini, jalanan yang biasanya dipadati kendaraan pemudik terasa lebih lengang. Bukan karena perjalanan tak dirindukan, tetapi karena dompet yang semakin tipis menahan langkah mereka pulang.
Daya beli masyarakat merosot tajam, harga kebutuhan pokok melambung, dan ekonomi kian menekan dari segala arah. Mereka yang dulu bersemangat menyambut Lebaran dengan suka cita, kini harus memilih: pulang kampung atau sekadar bertahan hidup di perantauan?
Ramadan kali ini terasa berbeda. Jika dulu pasar wadai menjadi pusat keramaian, kini hanya sepi yang tersisa. Pedagang duduk termenung di lapaknya, menatap kue-kue yang masih utuh. Pembeli tak lagi berjubel seperti tahun-tahun sebelumnya.

Daya beli masyarakat merosot tajam. Ekonomi yang kian terpuruk membuat banyak orang lebih memilih bertahan dengan kebutuhan pokok, sementara jajanan khas Ramadan menjadi kemewahan yang sulit dijangkau. Jalanan yang biasanya padat kendaraan pemudik pun kini lengang, seolah mencerminkan kondisi rakyat yang kian terhimpit.

Di balik hingar-bingar kebijakan yang sering kali hanya menjadi seremonial, rakyat kecil berjuang sendiri menghadapi kenyataan pahit ini. Jika situasi ini terus berlanjut, akankah Ramadan di tahun-tahun mendatang tetap membawa kebahagiaan, atau justru menjadi cermin dari krisis yang semakin dalam?
Kita tidak butuh sekadar janji dan retorika. Yang dibutuhkan adalah keberanian dan kejujuran untuk mengakui bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Sebab, ketika rakyat mulai kesulitan untuk sekadar pulang ke rumahnya sendiri, di situlah tanda bahwa ekonomi telah benar-benar jatuh ke titik nadir.
(Dari seorang wartawan yang masih percaya bahwa kebenaran harus tetap ditulis, meski banyak yang ingin menghapusnya. ( AGUS / MBO )