PENULIS : AGUS SAPUTRA
PENERBIT : DIAN ASTARADE SETYA

MEDIABORNEO-ONE.COM – Di balik langit senja yang perlahan menutup hari, ada isak tangis yang tak terdengar. Bukan jeritan yang nyaring, bukan keluhan yang memohon belas kasihan, tetapi kepedihan yang menyesak di dada—tentang hidup yang semakin terasa berat di tanah sendiri.
Ramadan yang dulu penuh cahaya kini meredup. Pasar wadai yang pernah menjadi saksi kebahagiaan kini dihantui sepi. Pedagang hanya bisa menatap dagangannya yang tak tersentuh, menunggu pembeli yang tak kunjung datang. Bukan karena mereka tak ingin menikmati manisnya Ramadan, tetapi karena mereka bahkan tak sanggup membeli sepotong kue untuk berbuka.

Jalanan yang dulu ramai dengan kepulangan, kini sunyi. Mereka yang merantau ingin pulang, tapi dompet tak lagi mengizinkan. Harga kebutuhan pokok melambung, penghasilan merosot, dan mereka harus memilih: pulang menemui keluarga atau bertahan di perantauan agar esok masih bisa makan?
Sementara rakyat menahan perih dalam diam, para penguasa berpesta dalam kemewahan. Angka-angka dalam laporan ekonomi terus dimanipulasi agar terlihat baik-baik saja, padahal di pasar, di jalanan, di rumah-rumah rakyat kecil, kenyataan berbicara sebaliknya.
Kita tak butuh pidato penuh janji. Kita tak butuh senyum palsu yang menyembunyikan kebohongan. Yang kita butuhkan hanyalah kejujuran untuk mengakui bahwa negeri ini sedang sakit. Sebab, ketika rakyat tak lagi mampu membeli makanan di bulan Ramadan, ketika pulang ke rumah sendiri menjadi kemewahan yang tak terjangkau, di situlah tanda bahwa ekonomi kita sedang sekarat.
Dan dalam sekarat ini, masihkah ada pemimpin yang sudi membuka mata, atau mereka justru terus berpaling, membiarkan rakyatnya tenggelam dalam keputusasaan? ( AGUS / MBO )